Laut

Laut… di depanku terhampar sebuah laut yang begitu luas. Dan tak lupa sebuah matahari yang kini tampak malu di balik garis horizon sana. Langit dan lautnya tampak memadu serasi saat itu. Serasi seperti sepasang kekasih yang takkan mampu dipisahkan. Ya, takkan ada seorangpun yang mampu memisahkan langit dan laut itu. Bereka berdua berhimpit indah dalam garis horizon dimana sang nelayan hanya tampak seperti titik hitam mungil mengambang.

Aku duduk di tepi bibir sang laut. Sekali-kali aku melihat beberapa burung laut yang berkejaran dengan temannya dan ada juga yang menantang bermain kepada angin kencang. Ombak-ombak laut tak kenal lelahnya menyerbu batu karang menunjukkan kekuatannya. Dan Batu karang hanya tersenyum diam melecehkan usaha ombak yang sia-sia.

Tapi aku sendiri, hanya bersama alam aku tersenyum sepi. Aku ingin menjadi debur ombak yang menyatu dalam kemeriahan tarian laut. Menjadi buih dan lenyap hilang dalam kesendirianku ini. alone-on-a-beach1

Di bawah langit yang mulai membiru

Pagi itu udara sangat terasa sejuk. Kesejukan yang berbalut sinar hangat mentari yang masih malu. Dan kehangatan yang sama persis hangatnya dengan perasaanku saat itu. Kabut tipis menyapu semua benda yang ada di sekelilingku. Dan sinar putih seputih susu menerjang kabut-kabut itu.

Langkahku pelan, pelan di belakang sosok itu. Sosok wanita yang umurnya tak jauh beda denganku, ia lebih muda beberapa bulan dariku. Kami telah mengenal satu sama lain cukup lama tapi sudah sekitar dua tahun aku tidak berjumpa denganya. Dan pagi ini, aku bersyukur dapat bertemu dan menyapanya akrab. Dan entah kenapa aku begitu senang saat ia memintaku untuk menemaninya berbelanja.

Ya, ia berjalan di depanku. Berjalan lurus, dan 2 meter di belakangnya ada aku yang hanya bisa melihat punggungnya. Langkah-langkahnya begitu sederhana… sangat sederhana. Namun kesederhanaan langkah itu terlihat begitu mewah di hatiku. Suara langkahnya terdengar begitu keras di telingaku mengalahkan ramainya pasar di pagi itu. Melangkah … melangkah … dan melangkah terus ke depan, dan aku sadar detak jantungku mengikuti irama langkahnya. Tiba-tiba langkahnya berhenti, dan aku tersentak kaget. Aku terdiam untuk beberapa saat. Dan secara sembunyi-sembunyi aku memastikan apakah jantungku juga ikut berhenti berdetak. Aku mengela napas lega setelah meyakinkan bahwa jantungku masih berdetak walaupun iramanya sedikit kacau seakan meminta irama langkah yang dari tadi menuntunnya dengan indah.

Kini sosok itu berhenti di depan seorang wanita tua yang sedang menjual buah mangga. Ia tersenyum pada wanita tua di depannya. Senyumnya begitu hangat, lebih hangat daripada kehangatan yang bisa diberikan oleh matahari pagi itu. Aku yakin kehangatan itu mampu melelehkan hati seorang lelaki yang melihatnya, termasuk aku yang sedang gelisah mengetahui ada sesuatu yang meleleh tiba-tiba di dalam dadaku.

Kini aku berada persis di sampingnya, di depan tumpukan buah mangga yang telah ranum. Hatiku bersorak kegirangan saat ia berada persis di sampingku, entah kenapa aku tak tahu. Aku memejamkan mataku memastikan tak ada campur tangan setan dalam kisahku di pagi itu. Mataku terpejam pada dunia dan melihat ke dalam hatiku. Tulus… hanya ketulusan di dalamnya, sebuah perasan tentang kasih sayang umat manusia. Perasaan yang merupakan kodrat makhluk ciptaan dari Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Dalam keterpejaman mataku, aku merasakannya. Aku merasakan gerak-geriknya, gerak tangannya memilih beberaa buah mangga. Dan, oh telingaku… telingaku bisa mendengar dengan jelas hembusan nafasnya. Nafas yang tiap hembusannya merupakan bukti syukur akan kehidupan yang telah diberikan-Nya. Semua ini… perasaan ini… aku… . Tiba-tiba angin pagi menerpa sejuk ke tubuhku. Berhembus begitu indah di sekujur kulitku dan sesaat berbisik pada suara hatiku. Lalu mengalir menjauh membawa doa dan harapanku.

Aku membuka mataku dan ia masih berada di sampingku. Ia menoleh padaku dan tersenyum untukku. “Aku akan melindungi senyummu” kataku begitu pelan berharap hanya dapat didengar oleh telingaku sendiri. “Hah” katanya seakan ia baru saja mendengar suara tak jelas keluar dari mulutku. Dan angin pagi berhembus kuat untuk kedua kalinya. Ia tersenyum dan memejamkan matanya menikmati kesejukan yang dibawa angin itu. Dan akupun mengikutinya memejamkan mataku.

Di bawah langit yang mulai membiru, antara ia dan aku… .

morning-sky

I’m Reborn :: Rising Form

Banyuwangi, 30 Oktober 1989 06.00 wib

Hari itu seorang anak terlahir ke dunia ini. Ia sangat ketakutan melihat dunia barunya karena ia harus menantang silaunya sinar matahari dunia, berbeda saat ia masih ada di dalam kandungan ibunya. Ia menangis keras memohon agar ia tak dilahirkan ke dunia yang kotor ini. Akan tetapi saat ia melihat wajah orang tuanya untuk pertama kalinya, ia merasa yakin ia dapat menaklukan dunianya karena akan ada orang tuanya di sampingnya. Ia yakin senyum orang tuanya mampu memberinya cukup tenaga untuk bertahan. Ia teringat akan janjinya sebelum terlahir pada Allah untuk bersaksi bahwa Allah adalah tuhan semesta alam.

19 tahun berlalu, 30 Oktober 2008 06.00 wib

Kini ia tumbuh menjadi seorang pemuda. Saat itu ia menengok kedalam hatinya dan bertanya siapakah dia. Ia menulis surat cinta pada Tuhannya, dalam suratnya ia meminta maaf atas segala kesalahan selama 19 tahun itu. Ia berdoa agar Allah bisa melahirkan kembali hatinya seperti saat ia lahir. Ia berharap ia menjadi sosok baru setelah itu.

Dalam hatinya ia berkata “ I’m Reborn, Rising Form

…..Coming Soon…..

I’m Reborn

Rising Form


I just one and only

Marhaban Ya Ramadhan

Jika aku lulus dari ITB.

Insya Allah, tidak sampai 3 tahun lagi aku akan lulus dari ITB. Ada beberapa hal yang mengusik aku sejak dulu. Hal itu adalah rasa rindu. Aku merasa sangat sedih jika membayangkan 3 tahun lagi semua kisahku di ITB akan berakhir. Dan berkemungkinan besar akan benar-benar berakhir. Aku harus berpisah dengan sahabat-sahabatku. 3 tahun lagi kami akan dipisahkan oleh jarak beratus-ratus kilometer. Tak bisa kubanyangkan rasa rindu seperti apa yang akan meledak di hari saat aku meninggalkan bandung 3 tahun lagi. Komunikasi lewat YM, friendster, blog sepertinya tak cukup bagiku. Walaupun akan ada reuni, toh reuni akan membuatku menunggu lama 10-20 tahun dan juga belum tentu semua temanku akan hadir dalam acara reuni tersebut. Jarak yang sangat jauh ini sangat menyiksaku. Lain halnya dengan teman-teman SMA, SMP, SD yang jika aku pulang ke Semarang mereka hanya berjarak beberapa ratus meter dariku. Semakin erat tali persahabatan ini semakin sakit pula jika tali ini harus ditarik saling menjauh. 3 Tahun lagi. Kenapa setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Apakah untuk menghindari perpisahan aku tak boleh bertemu dengan seseorang. Kenapa kami harus berpisah hanya karena pekerjaan, pendidikan atau pernikahan. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk mengisi 3 tahun mendatang. Satu tahun telah berlalu. Perlahan lahan semuanya akan berakhir.

Ya.. Allah mengapa kau ciptakan rasa rindu ini.

Ada sesuatu yang perlu kau ketahui kawan
“Kita pernah bersama”