Pagi itu udara sangat terasa sejuk. Kesejukan yang berbalut sinar hangat mentari yang masih malu. Dan kehangatan yang sama persis hangatnya dengan perasaanku saat itu. Kabut tipis menyapu semua benda yang ada di sekelilingku. Dan sinar putih seputih susu menerjang kabut-kabut itu.
Langkahku pelan, pelan di belakang sosok itu. Sosok wanita yang umurnya tak jauh beda denganku, ia lebih muda beberapa bulan dariku. Kami telah mengenal satu sama lain cukup lama tapi sudah sekitar dua tahun aku tidak berjumpa denganya. Dan pagi ini, aku bersyukur dapat bertemu dan menyapanya akrab. Dan entah kenapa aku begitu senang saat ia memintaku untuk menemaninya berbelanja.
Ya, ia berjalan di depanku. Berjalan lurus, dan 2 meter di belakangnya ada aku yang hanya bisa melihat punggungnya. Langkah-langkahnya begitu sederhana… sangat sederhana. Namun kesederhanaan langkah itu terlihat begitu mewah di hatiku. Suara langkahnya terdengar begitu keras di telingaku mengalahkan ramainya pasar di pagi itu. Melangkah … melangkah … dan melangkah terus ke depan, dan aku sadar detak jantungku mengikuti irama langkahnya. Tiba-tiba langkahnya berhenti, dan aku tersentak kaget. Aku terdiam untuk beberapa saat. Dan secara sembunyi-sembunyi aku memastikan apakah jantungku juga ikut berhenti berdetak. Aku mengela napas lega setelah meyakinkan bahwa jantungku masih berdetak walaupun iramanya sedikit kacau seakan meminta irama langkah yang dari tadi menuntunnya dengan indah.
Kini sosok itu berhenti di depan seorang wanita tua yang sedang menjual buah mangga. Ia tersenyum pada wanita tua di depannya. Senyumnya begitu hangat, lebih hangat daripada kehangatan yang bisa diberikan oleh matahari pagi itu. Aku yakin kehangatan itu mampu melelehkan hati seorang lelaki yang melihatnya, termasuk aku yang sedang gelisah mengetahui ada sesuatu yang meleleh tiba-tiba di dalam dadaku.
Kini aku berada persis di sampingnya, di depan tumpukan buah mangga yang telah ranum. Hatiku bersorak kegirangan saat ia berada persis di sampingku, entah kenapa aku tak tahu. Aku memejamkan mataku memastikan tak ada campur tangan setan dalam kisahku di pagi itu. Mataku terpejam pada dunia dan melihat ke dalam hatiku. Tulus… hanya ketulusan di dalamnya, sebuah perasan tentang kasih sayang umat manusia. Perasaan yang merupakan kodrat makhluk ciptaan dari Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dalam keterpejaman mataku, aku merasakannya. Aku merasakan gerak-geriknya, gerak tangannya memilih beberaa buah mangga. Dan, oh telingaku… telingaku bisa mendengar dengan jelas hembusan nafasnya. Nafas yang tiap hembusannya merupakan bukti syukur akan kehidupan yang telah diberikan-Nya. Semua ini… perasaan ini… aku… . Tiba-tiba angin pagi menerpa sejuk ke tubuhku. Berhembus begitu indah di sekujur kulitku dan sesaat berbisik pada suara hatiku. Lalu mengalir menjauh membawa doa dan harapanku.
Aku membuka mataku dan ia masih berada di sampingku. Ia menoleh padaku dan tersenyum untukku. “Aku akan melindungi senyummu” kataku begitu pelan berharap hanya dapat didengar oleh telingaku sendiri. “Hah” katanya seakan ia baru saja mendengar suara tak jelas keluar dari mulutku. Dan angin pagi berhembus kuat untuk kedua kalinya. Ia tersenyum dan memejamkan matanya menikmati kesejukan yang dibawa angin itu. Dan akupun mengikutinya memejamkan mataku.
Di bawah langit yang mulai membiru, antara ia dan aku… .
Filed under: Cinta, kisah, Uncategorized | Tagged: aku, Cinta, ia, kisah, langit, pagi | 2 Comments »