1.5 Hz (Bagian 2)

Tahukah kau, dalam keadaan normal setiap menit jantung manusia berdetak sebanyak 60 – 100kali. Secara matematis mungkin sekitar 1,5 Hertz, ya itulah frekuensi detak jantung manusiadalam keadaan normal. Lalu dalam 1.5 Hertz itu apa yang ada dalam jantungmu itu tiap kali iaberdetak? Kebencian kah? Kasihsayangkah kah? Atau keputusasaan? Atau mungkin kau tak merasakan apa-apa didalam jantungmu?

Aku memainkan tombol-tombol telpon genggamku. Hanya dan cuma sekedar memainkan tombolnya, namun pandanganku kosong menatap tampilan layarnya yang berubah setiap kali aku memencetsebuah tombol.

“Bip”

Sebuah pesan masuk, aku baca teks dilayar telepon genggamku.

“Zain, ntar malem tarawih bareng yuk!”

Aku baru menyadari bahwa nanti malam adalah malam pertama di bulan ramadhan. Aku sudahmerasa tak peduli lagi dengan apa yang disebut ramadhan. Aku telah lama lupa akan maknaramadhan, atau lebih tepatnya aku tak pernah merasakan apa itu makna ramadhan yang seringdibahas oleh Pak Ustadz dalam pengajian di kampungku. Bagiku ramadhan hanya milik orang tertentu saja. Ia hanya milik kaum-kaum suci di sana bukan aku. Ia hanya sekedar sebuah hari dengan orang-orang lemas dan malam dimana manusia terlihat begitu rakus.

Pikiranku melayang pada ramadhan-ramadhanku tahun lalu yang kosong, amat kosong tanpa suatu hal yang berarti. Akankah ramadhan kali ini akan sehampa biasanya? batinku

Siang itu, matahari sangat terik. Kakiku menapak mengikuti sebuah jalan di depanku, sebuah jalan yang membelah hamparan sawah kering yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Di atas aspal yang panas dan di tengah-tengah hamparan sawah kering hanya aku sendiri di situ. Sangat sunyi, kecuali suara angin dan suara sandal buntutku yang menyeret. Kosong… tak jauh beda dengan hatiku yang selalu terisi oleh kekosongan. Tiap jantung ini berdetak, tak ada apa-apa di dalam sana kecuali lubang kekosongan yang menganga. Sebuah lubang kosong yang selalu siap menelanku dalam lamunan, dan lamunan itupun kosong. Aku tak tahu apa itu cinta, bahkan menurutku cinta itu tak ada, atau mungkin hanya ada dalam buku-buku dongeng dan sinetron.

Aku sudah cukup lama hidup sendiri. Orang-orang di sekelilingku terasa sungguh membosankan. Aku bosan dengan sandiwara dunia ini, aku muak dengan manusia yang hidup dalam kepura-puraan itu. Senyuman mereka, uluran tangan mereka dan sesuatu yang mereka inginkan di belakangnya. Benar-benar oportunis, tak ada lagi pengorbanan tanpa pamrih. Tapi, semuanya ini akan segera berakhir bagiku, begitulah yang dikatakan sang waktu kepadaku. Aku tahu hidupku tak lama lagi. Aku ingin segera mengakhiri semua kebosanan ini, secepatnya.


Awal mula, dimana semuanya dimulai termasuk kisah ini.


Di bawah langit yang mulai membiru

Pagi itu udara sangat terasa sejuk. Kesejukan yang berbalut sinar hangat mentari yang masih malu. Dan kehangatan yang sama persis hangatnya dengan perasaanku saat itu. Kabut tipis menyapu semua benda yang ada di sekelilingku. Dan sinar putih seputih susu menerjang kabut-kabut itu.

Langkahku pelan, pelan di belakang sosok itu. Sosok wanita yang umurnya tak jauh beda denganku, ia lebih muda beberapa bulan dariku. Kami telah mengenal satu sama lain cukup lama tapi sudah sekitar dua tahun aku tidak berjumpa denganya. Dan pagi ini, aku bersyukur dapat bertemu dan menyapanya akrab. Dan entah kenapa aku begitu senang saat ia memintaku untuk menemaninya berbelanja.

Ya, ia berjalan di depanku. Berjalan lurus, dan 2 meter di belakangnya ada aku yang hanya bisa melihat punggungnya. Langkah-langkahnya begitu sederhana… sangat sederhana. Namun kesederhanaan langkah itu terlihat begitu mewah di hatiku. Suara langkahnya terdengar begitu keras di telingaku mengalahkan ramainya pasar di pagi itu. Melangkah … melangkah … dan melangkah terus ke depan, dan aku sadar detak jantungku mengikuti irama langkahnya. Tiba-tiba langkahnya berhenti, dan aku tersentak kaget. Aku terdiam untuk beberapa saat. Dan secara sembunyi-sembunyi aku memastikan apakah jantungku juga ikut berhenti berdetak. Aku mengela napas lega setelah meyakinkan bahwa jantungku masih berdetak walaupun iramanya sedikit kacau seakan meminta irama langkah yang dari tadi menuntunnya dengan indah.

Kini sosok itu berhenti di depan seorang wanita tua yang sedang menjual buah mangga. Ia tersenyum pada wanita tua di depannya. Senyumnya begitu hangat, lebih hangat daripada kehangatan yang bisa diberikan oleh matahari pagi itu. Aku yakin kehangatan itu mampu melelehkan hati seorang lelaki yang melihatnya, termasuk aku yang sedang gelisah mengetahui ada sesuatu yang meleleh tiba-tiba di dalam dadaku.

Kini aku berada persis di sampingnya, di depan tumpukan buah mangga yang telah ranum. Hatiku bersorak kegirangan saat ia berada persis di sampingku, entah kenapa aku tak tahu. Aku memejamkan mataku memastikan tak ada campur tangan setan dalam kisahku di pagi itu. Mataku terpejam pada dunia dan melihat ke dalam hatiku. Tulus… hanya ketulusan di dalamnya, sebuah perasan tentang kasih sayang umat manusia. Perasaan yang merupakan kodrat makhluk ciptaan dari Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Dalam keterpejaman mataku, aku merasakannya. Aku merasakan gerak-geriknya, gerak tangannya memilih beberaa buah mangga. Dan, oh telingaku… telingaku bisa mendengar dengan jelas hembusan nafasnya. Nafas yang tiap hembusannya merupakan bukti syukur akan kehidupan yang telah diberikan-Nya. Semua ini… perasaan ini… aku… . Tiba-tiba angin pagi menerpa sejuk ke tubuhku. Berhembus begitu indah di sekujur kulitku dan sesaat berbisik pada suara hatiku. Lalu mengalir menjauh membawa doa dan harapanku.

Aku membuka mataku dan ia masih berada di sampingku. Ia menoleh padaku dan tersenyum untukku. “Aku akan melindungi senyummu” kataku begitu pelan berharap hanya dapat didengar oleh telingaku sendiri. “Hah” katanya seakan ia baru saja mendengar suara tak jelas keluar dari mulutku. Dan angin pagi berhembus kuat untuk kedua kalinya. Ia tersenyum dan memejamkan matanya menikmati kesejukan yang dibawa angin itu. Dan akupun mengikutinya memejamkan mataku.

Di bawah langit yang mulai membiru, antara ia dan aku… .

morning-sky

BELAJAR DARI BURUNG DAN CACING

Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing.

Kita lihat burung tiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Tidak terbayang sebelumnya kemana dan dimana ia harus mencari makanan yang diperlukan. Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya, tapi kadang makanan itu Cuma cukup buat keluarganya, sementara ia harus puasa. Bahkan seringkali ia pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga ia dan keluarganya harus berpuasa.

Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya ?kantor? yang tetap, apalagi setelah lahannya banyak yang diserobot manusia, namun yang jelas kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap optimis akan rizki yang dijanjikan Allah. Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap berkicau dengan merdunya.

Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.

Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai mata dan telinga.

Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati. Tapi kita lihat , dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari rizki . Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan kepalanya ke batu.

Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih. Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing ? Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri menghadapi kesulitan yang dihadapi? padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing yang berusaha bunuh diri karena putus asa.

Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar dari burung dan cacing.

Aku di Sampingmu Kawan…

Desir angin ini membelaiku
Cahaya mentari menyapu wajahku

Tapi…
Kenapa kau diam membisu
Sinar wajahmu meredup muram
Siapakah yang mencuri semangatmu

Adakah luka padamu
Masihkah keraguan menyelimutimu

Mengapa kau tak tahu
Kau tak tahu aku disampingmu
Mengapa kau tak mau berkisah padaku
Berkisah tentang luka itu

Kau tak pernah menghiraukanku
Padahal aku disampingmu
Aku yang setia menunggumu

Jabat tangan ini
Biarkan tangan ini membantumu
Biarkan pundak ini menjadi sandaranmu

Terbanglah tinggi, aku sayapmu
Menyelamlah yang dalam, aku insangmu

Matahari malu karena kau lebih terang
Bulanpun iri karena mimpimu sangat tinngi

Terbitkan semangatmu

Aku disini
Aku disampingmu
Tahukah kau Sahabatku

Maafkan aku…………………Ayah…………………..

null

Waktu aku browsing di internet aku menemukan cerita ini. Cerita ini sempat membuatku meneteskan air mata. Selamat hanyut dalam kesedihan ini.
Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.

Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Continue reading