1.5 Hz (Bagian 5)

Kereta api yang aku naiki melaju pelan di atas batang-batang baja yang panjang itu. Kulihat jam tanganku untuk ketujuh kalinya. Pukul 20.29, sudah hampir 4,5 jam aku duduk disini, terjebak dalam kereta ini. Terlambat… sudah sangat terlambat. Seharusnya satu setengah jam yang lalu aku sudah tiba di stasiun tujuanku. Tapi, kini aku masih harus menempuh seperempat perjalanan lagi. Semua ini gara-gara hujan deras yang menyebabkan banjir ditambah arus mudik yang terjadi. Jarum-jarum jam tanganku berputar dengan pasti diatas tanganku yang bergetar cemas.

Kuambil sepucuk surat didalam sakuku, kucoba membacanya sekali lagi surat itu. Kata perkata, baris perbaris. Hingga sampai pada bait terakhir dari surat itu:

… Kak zain, sudah 11 tahun kita terpisah. Dan akhirnya Laili telah menemukan dimana Kak Zain sekarang. Karena Laili belum mendapat hari libur dari pesantren, Laili belum bisa mengunjungi kakak sekarang. Laili akan sangat senang jika kakak bisa datang diacara kelulusan Laili di pesantren tanggal 8 september 2009 jam 19.00 bada isya’…

Adikku Laili, karena suatu hal, takdir membuat kami terpisah sejak 11 tahun yang lalu. Saat itu kami hidup berdua menggelandang. Tak punya orang tua, tak punya siapa-siapa. Dan kamipun terpisah, tak ada kabar lagi tentang dirinya. Kupikir ia telah mati kelaparan disebuah sudut kota. Dan akupun berhenti mencari dirinya.

Tapi, dua hari yang lalu, aku mendapatkan surat ini. Surat yang tak pernah aku tunggu-tunggu namun ternyata mampu mengisi ruang yang telah lama kosong dalam diriku. Ternyata ia mencariku, ternyata di sebuah bagian di dunia ini seseorang sedang menungguku. Entah, aku tak tahu bagaimana caranya ia bisa menemukan alamatku. Dan aku sebagai kakak yang tak bertanggung jawab malah sibuk menunggu kematian yang akan segera datang menjemputku. Aku malu menemuinya, tapi aku ingin menemuinya dan memeluknya.

Dan keretapun melaju dibawah hujan deras, aku memandang keluar lewat jendela kaca yang sudah berembun di sampingku.

Dik, tidurlah jangan tunggu aku…